Bismillah…
“If you don’t understand people, you don’t understand business” – Simon Sinek
Beberapa masalah terbesar dalam hidup seseorang, baik itu dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadi, kemungkinan besar akan melibatkan orang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, mudah sekali bagi kita salah paham terhadap orang lain.
Terutama dari sisi motivasi yang mendorongnya melakukan sesuatu.
Begitu mudahnya kita salah dalam memahami orang lain, hingga dari jauh-jauh hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti:
Jauhilah oleh kalian prasangka, karena prasangka itu pembicaraan yang paling dusta. (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Kita sering berasumsi kalau orang lain itu memiliki perspektif atau konteks yang sama dengan kita. Atau orang lain mengerti kondisi kita. Atau orang lain pernah mengalami apa yang kita alami.
Sayangnya sebagian besar asumsi ini kemungkinan akan kurang tepat.
Untuk bisa memahami seseorang dengan lebih baik, dan memahami bagaimana orang lain berpikir dan merasakan sesuatu, kita sebaiknya belajar untuk melihat dari posisinya, berdiri dari posisinya, dan merasakan dari dalam hatinya.
Ada beberapa model atau teknik yang bisa kita pelajari agar bisa lebih akurat dalam memahami orang lain.
Ini dia beberapa model tersebut.
Daftar Isi
Kenapa?
Meningkatkan empati kita terhadap orang lain akan memberikan banyak manfaat, terutama dalam bisnis dan pekerjaan.
Empati yang tinggi akan membantu kita membuat produk yang lebih baik. Yang membuat pembeli nantinya merasa “ini gue banget”.
Empati yang tinggi akan membantu kita mendesain campaign iklan yang lebih baik.
Empati yang tinggi akan membantu customer service melayani dengan lebih baik.
Empati yang tinggi akan membantu kita menulis email promosi yang lebih baik.
Empati yang tinggi akan membantu mencari solusi dari sebuah konflik dengan lebih kreatif.
Empati yang tinggi akan mendorong kinerja bawahan/ tim kita.
Dan banyak lagi.
The Map Is Not The Territory
Ini mungkin pemahaman dasar yang harus kita ketahui terlebih dahulu sebelum membahas lebih dalam tentang model berpikir untuk memahami orang lain.
Mungkin Anda sudah familiar dengan Google Maps karena mungkin Anda sering menggunakannya.
Ini adalah gambar dari Google Maps, yang menunjukkan jalan di depan kompleks perumahan saya, kita sebut saja namanya Jl. Parahyangan Raya:
Dan ini adalah tampilan Jl. Parahyangan Raya yang sebenarnya, di foto dari Google Street View:
Dari perumpamaan diatas, gambar pertama adalah map. Gambar kedua adalah territory.
Keduanya menunjukkan hal yang sama: Jl. Parahyangan Raya, namun terlihat sangat berbeda.
Yang menjadi preferensi seseorang terhadap sesuatu adalah map, atau mudahnya manusia melihat dunia ini sesuai dengan map yang ada di dalam kepalanya, dan bukan territory yang sebenarnya.
Pikiran manusia dipengaruhi oleh sangat banyak hal saat menilai sesuatu, sehingga sangat menantang untuk melihat sesuatu itu sebagaimana mestinya.
Setiap orang memiliki map-nya masing-masing di dalam kepalanya, yang digunakan untuk menilai semua yang ia alami didunia ini.
Jika kita kembali ke perumpamaan Google Maps diatas, maka bisa saja Anda menggunakan Google Maps, lawan bicara Anda menggunakan Waze atau mungkin Apple Maps (aplikasi navigasi lain). Semuanya menunjukkan Jl. Parahyangan Raya diatas, tapi masing-masing menunjukkannya dengan cara berbeda.
Coba saja tuliskan alamat yang sama pada masing-masing aplikasi diatas, maka semuanya akan terlihat berbeda. Ini masih menggunakan aplikasi, bagaimana jika lawan bicara Anda menggunakan peta yang dicetak?
Karenanya, saat berinteraksi dengan orang lain, kita harus mempertimbangkan, bisa saja preferensinya sangat berbeda dengan kita. Konflik dengan orang lain biasanya dimulai saat kita beranggapan bahwa map yang kita gunakan adalah territory yang benar, kita menyalahkan map yang digunakan orang lain.
Sadari bahwa kita melihat model dari dunia nyata yang kita bentuk di dalam kepala kita, dan bukan dunia nyata itu sendiri. Dan setiap orang memiliki model yang berbeda-beda.
Mungkin akan sangat menantang, bahkan mustahil kita bisa 100% memahami bentuk model atau map nya orang lain. Namun pada dasarnya kita tidak perlu mengetahui semuanya untuk bisa lebih berempati terhadap seseorang.
Fundamental Attribution Error
Bayangkan Anda dalam sebuah acara, biar mudah, kita sebut saja acara gathering atau kopdar bisnis.
Anda diundang oleh teman yang sudah Anda kenal lama, sebutlah namanya: Jono.
Jono lalu memperkenalkan Anda dengan seorang temannya yang bernama Rudi.
Jono memperkenalkan Anda dengan semangat menurutnya, kolaborasi bisnis Anda dan bisnis Rudi, akan menghasilkan sesuatu yang besar.
Namun, setelah Anda bertemu dengan Rudi, ia jarang menatap mata Anda saat berbicara, saat Anda berbicara ia beberapa kali mendengar sambil melihat smartphone nya, dan beberapa kali ia memanggil orang lain yang lewat di sebelahnya saat Anda sedang menjelaskan bisnis Anda.
Saat Anda menilai Rudi dengan menghubungkan perilaku diatas dengan faktor motivasi internal atau sifat dasar (fundamental) seseorang dibanding faktor eksternal, maka Anda mungkin sedang mengalami kekeliruan yang bernama Fundamental Attribution Error.
Atau mudahnya begini, jika dari perilaku Rudi diatas Anda menilai dirinya bukan orang baik, atau nyebelin. Maka Anda mungkin sedang keliru.
Bisa saja, Rudi sedang habis mengalami kecelakaan, dimana ia merupakan pelaku dan korbannya sedang dirawat di rumah sakit, inilah mungkin alasannya sering menunduk dan tidak menatap mata Anda. Mungkin ia masih shock. Mungkin ia merasa bersalah.
Atau dia mungkin menunggu kabar istrinya yang lagi di rumah sakit, karenanya ia terus mengecek WhatsApp-nya saat sedang berbicara dengan Anda.
Atau mungkin juga ia baru saja mengalami kerugian yang besar sekali dalam bisnisnya, sehingga ia resah, dan terus mengajak ngobrol atau menegur setiap orang yang ia kenal.
Atau mungkin kombinasi dari beberapa hal negatif yang ia alami seharian.
Intinya, bisa saja ada faktor eksternal yang mempengaruhi perilakunya saat itu. Dan mungkin, ia bukan orang yang tidak baik.
Cara Mengatasi Fundamental Attribution Error
Ada beberapa hal yang bisa Anda lakukan untuk mencegah atau mengatasi Fundamental Attribution Error:
1. Most Respectful Interpretation (MRI)
Dalam setiap situasi, kita bisa menjelaskan situasi seseorang dengan berbagai cara.
Seperti kasus Rudi diatas, kemungkinannya banyak sekali.
Most Respectful Interpretation atau MRI, pada dasarnya mengajak kita untuk menginterpretasikan sebuah kejadian dari sudut pandang yang paling bisa kita hargai, atau sudut pandang yang paling positif yang bisa kita toleransi.
Sebagai contoh.
Kita tidak tahu apa yang Rudi alami, bisa saja semua hal diatas, atau bisa saja bukan semua hal diatas. Saat ini kita tidak tahu.
Namun, kita bisa memilih untuk berasumsi yang terbaik.
Ada calon pembeli yang tidak responsif saat di follow up? Mungkin ia sedang sibuk mengurus anak.
Email proposal penawaran Anda tidak direspon? Mungkin ia sedang diskusi dengan atasannya untuk menerima penawaran Anda, namun diskusinya belum selesai sampai sekarang.
Ada orang menyetir ugal-ugalan di jalan? Mungkin sedang terburu-buru ke rumah sakit dimana orang tuanya dirawat.
Lagi, intinya, kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Mungkin sejenak terlihat naif. Namun MRI bukan bertujuan untuk mengubah sudut pandang atau penilaian kita akan sebuah kejadian. Namun hanya merupakan pendekatan berbeda yang bisa kita pilih saat kita sedang menunda untuk memilih respon yang lebih tepat.
Bandingkan kejadian ini:
Biasanya kalau lagi sering posting di Facebook itu iklannya lagi boncos (rugi).
Dengan
Mungkin dia baru aja berhasil mempraktekkan suatu hal dalam bisnisnya dan ingin sharing di Facebook, karena dengan mengajarkan, kita juga belajar memahami dan jadi lebih ingat.
Mana yang benar? Kita tidak tahu.
Tapi ini bukan masalah benar salah, tapi mana yang bermanfaat.
Toh pada dasarnya kita sedang menebak-nebak, karenanya tebaklah dengan tebakan yang terbaik.
Dengan menggunakan pendekatan MRI ini, misalnya kita harus mem-follow up, atau mengirimkan email lanjutan jika email proposal kita sebelumnya tidak dibalas, maka kita akan melakukannya dengan pendekatan yang lebih positif.
Pilihan kata-kata kita dalam email tersebut akan lebih baik, obrolan kita akan lebih fokus ke manfaatnya, dan mungkin, hasilnya akan lebih baik nantinya.
2. Hanlon’s Razor
Model selanjutnya yang bisa digunakan untuk mengatasi Fundamental Attribution Error adalah sesuatu yang disebut Hanlon’s Razor.
“Pepatah” ini pertama kali dicetuskan oleh Robert J. Hanlon, kia-kira berbunyi seperti ini:
Jangan pernah mengaitkan dengan kedengkian sesuatu yang cukup dijelaskan dengan kecerobohan.
Anda bisa mengganti kata “kecerobohan” diatas dengan: Kemalasan, terburu-buru, kelalaian, dll.
Intinya begini, saat seseorang mengalami sesuatu yang kemudian mungkin mengganggu kita, terutama yang mendesak, kecenderungannya adalah ia akan memilih proses yang paling cepat baginya untuk mendapatkan hasil.
Bisa saja, proses yang paling cepat ini mengakibatkan seseorang menjadi ceroboh, dan dari kecerobohan tersebut hasilnya adalah sesuatu yang tidak baik, atau bahkan berbahaya. Terutama bagi orang di sekelilingnya.
Contohnya begini, andaikan kita lagi makan di sebuah Rumah Makan Padang, dan sang pelayan itu menumpahkan sepiring Rendang lengkap dengan bumbunya ke kepala Anda, kemungkinan besar seseorang itu tidak ada niat melakukannya karena membenci atau dengki dengan kita. Bisa saja ia melakukan itu karena tidak melihat ada kepala kita karena wajahnya tertutup piring yang berada di tangannya, karena tidak punya skill yang cukup (kurang latihan membawa piring), atau mungkin hanya karena ia lagi lapar jadi tidak fokus.
Jika kita kembali merujuk ke kasus Rudi diatas, kebutuhannya untuk menerima respon Whatsapp dengan cepat menjadikannya lalai untuk memperhatikan obrolan kita, bisa jadi bukan karena Rudi tidak suka dengan kita.
3. Posisi 1-2-3
Ini teknik yang umum dipelajari dalam NLP.
Dalam sebuah konflik atau kejadian yang melibatkan 2 orang, biasanya kita akan mendengar 2 sisi dari sebuah cerita.
Jika cerita soal Rudi diatas kita ceritakan kembali ke Jono, dan pada saat berbeda, Rudi juga cerita dengan Jono mengenai kita sesuai dengan yang dia alami. Maka Jono akan mendengarkan 2 versi cerita berbeda dari kita dan dari Rudi.
Namun ada pihak ketiga, yaitu pihak yang tidak memihak.
Posisi 1-2-3 mengajak kita untuk pindah dari posisi pertama (alias orang yang mengalami langsung) ke posisi ketiga dimana kita tidak berpihak pada siapapun, hanya mengamati.
Karenanya, saat ada konflik, “dorong” diri kita untuk keluar dari tubuh kita di posisi pertama, dan pindah ke posisi ketiga.
Seperti yang saya tulis pada bagian awal artikel ini: The map is not the teritory.
Posisi ketiga adalah posisi dimana kita berusaha menilai sebuah kejadian sebagai kejadian itu sendiri, sebagai teritory-nya, bukan sebagai sebuah kejadian yang kita alami di dalam kepala kita.
Sebenarnya teknik ini sangat mudah dilatih langsung dirumah.
- Sediakan 3 buah kursi.
- Susun hingga berbentuk segitiga, dimana kursi pertama dan kedua saling berhadapan.
- Tempatkan kursi ketiga itu menatap lurus tepat ditengah-tengah posisi kursi pertama dan kedua.
- Duduklah pada kursi pertama, kenali situasi yang bermasalah dengan orang yang duduk di posisi kedua (jika tidak ada orang lain, andaikan saja).
- Disosiasi atau “keluar dari tubuh Anda” dan pindah ke posisi ketiga untuk mengamati hubungan orang yang duduk di posisi pertama dan kedua.
- Buat pilihan-pilihan perilaku baru, dan pilih perilaku yang terbaik.
- Pindah kembali ke posisi pertama dengan membawa perilaku baru yang tadi.
Kuncinya, saat duduk di posisi ketiga, kita mengobservasi celah antara cerita kita dengan cerita yang dialami lawan bicara kita.
Walaupun latihan diatas mungkin terlihat aneh atau konyol bagi sebagian orang, namun menurut saya cukup efektif untuk latihan meningkatkan empati, dan pemahaman map atau perspektif orang lain.
Jadi, misalnya Rudi, terus-terusan melihat ke smartphone-nya saat berbicara dengan kita, sebelum menegur atau merespon, tunda sejenak, keluar dari posisi pertama, dan pantau aktivitas kita dan Rudi dari posisi ketiga.
Setelah itu, kembalilah ke posisi pertama dan pilih aktivitas yang lebih baik ke Rudi.
Teknik ini cocok sekali jika kita terlibat dalam sebuah perdebatan sengit di dalam tim, atau mungkin dengan keluarga.
Pada prinsipnya MRI, Hanlon’s Razor, dan Posisi 1-2-3 adalah aktivitas atau model untuk memilih respon yang terbaik dalam sebuah kejadian.
Berilah kesempatan untuk diri kita sendiri mengumpulkan fakta, apa yang terjadi, dan bagi orang lain untuk menunjukkan/ memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.
Self-serving Bias
Sekarang, mari kita balik kasus pertemuan kita dengan Rudi diatas.
Dimana kali ini, kita sendiri yang memegang smartphone, dan melihat/ mengecek smartphone kita berkali-kali, tanpa sadar Rudi sedang berbicara serius dengan kita tentang sesuatu yang sangat penting baginya, misalnya ia bercerita tentang perjalanan jatuh bangunnya dalam bisnis.
Saat ditanya: “Kok ngeliat HP terus? Itu kan ada orang yang lagi ngajakin ngobrol”.
Maka mungkin kita akan dengan mudahnya menjawab: “Iya, lagi nunggu kabar penting di WhatsApp”.
Akan mudah sekali bagi kita merasionalisasi atau memunculkan pembenaran dari perbuatan yang kita lakukan, setidak baik apapun itu.
Inilah kebalikan dari Fundamental Attribution Error yang umumnya disebut: Self-serving Bias.
Intinya begini:
Saat kita menjadi pelaku, kita akan mencari alasan atau pembenaran yang membenarkan dasar pilihan tindakan kita. Namun saat kita menjadi si pemerhati, kita cenderung menyalahkan sifat dasar orang lain, bahwa ia memang seperti itu.
Karenanya Self-serving Bias sering disebut juga dengan Actor-observer Bias.
Karenanya, sesuatu yang kita anggap “wajar”, atau “masa gitu aja ga ngerti sih”, bisa jadi memang benar tidak dipahami oleh orang lain.
Posisi 1-2-3 yang sudah kita bahas diatas juga akan membantu kita untuk “pindah” dan berada di posisi orang yang mengobservasi, yang kemudian bisa kita gunakan untuk mengatasi Self-serving Bias ini.
Tabir Ketidaktahuan
Tabir Ketidaktahuan atau Veil Of Ignorance adalah sebuah konsep berpikir yang membawa kita ke kondisi dimana, kita beranggapan bahwa kita tidak mengetahui dimana posisi kita di masyarakat.
Seperti adanya tabir atau penutup yang membuat kita tidak mengetahui siapa diri kita dan dimana kita berada di masyarakat.
Artinya, saat ada keputusan yang kita ambil, atau peraturan yang kita tegakkan (dalam perusahaan misalnya), maka kita bisa saja berada di posisi yang menguntungkan atau merugikan. Kita tidak tahu apakah kita akan mendapat manfaat atau mudarat sebagai akibat dari keputusan itu.
Strategi ini, harapannya, akan membantu kita untuk mengambil keputusan yang lebih adil.
Sebagai contohnya, kita lihat Yahoo! yang pada tahun 2016 memutuskan untuk mengakhiri kebijakan kerja remote, dan kemudian menarik semua timnya yang bekerja jarak jauh. Jadi, tidak ada lagi kerja dirumah, semua ngumpul di kantor atau silahkan tinggalkan perusahaan.
Saat mengambil keputusan ini, Marissa Mayer, yang saat itu CEO-nya Yahoo!, mungkin tidak sulit baginya mengambil keputusan ini dari perspektifnya sebagai pemimpin, apalagi misalnya ia bukan orang yang menghargai pola kerja remote.
Namun, bagaimana jika diantara karyawan Yahoo! saat itu ada yang harus mengurus orang tuanya yang sudah uzur, atau mungkin seorang single parent yang bekerja sambil mengurus anak.
Menutup Tabir Ketidaktahuan akan membantu kita untuk menghargai ini, karena bisa saja kita yang terkena dampak negatif kebijakan ini.
Mungkin benar, ada kalanya kita harus mengambil keputusan yang pahit, sehingga walaupun kita tahu konsekuensinya ke orang lain, kita tetap harus mengambil keputusan tersebut. Namun Tabir Ketidaktahuan akan memungkinkan kita akan muncul dengan solusi yang lebih kreatif, yang bisa meminimalisir dampak negatif dari keputusan tersebut ke orang lain.
Faktor Sunatullah
Pada akhirnya, kita hanyalah manusia, dan akan selalu ada hal yang tidak bisa kita kendalikan, inilah Faktor Sunatullah, atau ketetapan Allah.
Beberapa orang mungkin menyebutnya takdir, atau nasib.
Terlepas dari apapun Anda mengatakannya, tetap saja ada beberapa kejadian yang terjadi begitu saja ke kita, tanpa mungkin bisa kita harapkan atau persiapkan, dan tanpa bisa kita jelaskan, ia hanya terjadi.
Inilah faktanya, dan kita melihat ini setiap hari disekitar kita, atau mungkin saat ini kita sedang mengalami sesuatu yang diluar kendali kita.
Namun, saat ini terjadi pada seseorang, banyak orang yang seperti tidak bisa menerima bahwa memang ada faktor diluar diri kita sebagai manusia, dan langsung mengaitkan akibat dari sebuah kejadian secara langsung dengan perbuatan orang tersebut.
Mungkin Anda pernah mendengar kalimat yang dipopulerkan oleh Presiden Soekarno:
“Siapa yang menabur angin, ia akan menuai badai”.
Atau mungkin pepatah barat:
“You reap what you sow”.
Artinya, siapa yang berbuat, akan menanggung akibatnya.
Dari kalimat diatas, banyak orang lalu mengambil kesimpulan bahwa akibat apapun yang diterima seseorang sekarang, itu penyebabnya adalah dari perbuatan dirinya sendiri. 100% pasti seperti itu.
Ini pemahaman yang kurang tepat menurut saya.
Walaupun sebagian kejadian hal ini benar adanya, namun ada beberapa kejadian lain yang memang tidak menuntut penjelasan, hanya butuh diimani.
Jadi, men-generalisir bahwa semua hal yang terjadi pada seseorang merupakan akibat dari perbuatan orang itu sendiri sebisa mungkin dihindari.
Kuncinya menurut saya, ada pada kemampuan dan kepekaan kita untuk membedakan mana kejadian yang tidak bisa dikendalikan, atau Faktor Sunatullah, dan mana yang merupakan respon seseorang terhadap kejadian itu.
Meskipun kita bisa mengkritik respon seseorang akan sebuah kejadian, atau bagaimana ia bereaksi pada Faktor Sunatullah, kita belum tentu bisa menyalahkan seseorang karena kejadian yang menjadi penyebabnya.
Orang yang berpegang teguh pada prinsip bahwa semua yang kita terima saat ini adalah hasil dari semua yang kita lakukan, biasanya akan melakukan Victim-blame pada orang yang menjadi “korban” dari sebuah kejadian.
Victim-blame
Victim-blame adalah efek samping yang diakibatkan jika seseorang mengabaikan bahwa ada Faktor Sunatullah terjadi pada orang lain.
Faktanya adalah ada hal-hal yang tidak akan mungkin bisa kita kendalikan, namun, dalam beberapa kasus, kita sering menyalahkan orang yang mungkin saat ini menjadi korban dari kejadian-kejadian yang ia alami, diluar kendalinya.
Contoh, misalnya ada seseorang yang tokonya dibobol maling (na’udzubillahimindzalik), saat ada yang mengatakan: “Tuh, siapa suruh tokonya tidak dikunci”.
Maka ia sedang melakukan Victim-blame.
Atau, ada orang yang tokonya kebanjiran (na’udzubillahimindzalik lagi) lalu ada yang bilang: “Ya nyari tempat jualan jangan di lokasi banjir donk”.
Maka ia sedang melakukan Victim-blame.
Orang yang kemalingan dan kebanjiran ini seperti berbuat kesalahan karena mereka menjadi korban dari sebuah kondisi yang tidak bisa mereka kendalikan. Dan namanya “korban” tentu saja kondisi ini juga tidak mereka inginkan, kalau mereka bisa memilih, mereka mungkin juga tidak ingin berada di posisi ini.
Bisa saja mereka sudah menjaga keamanan tokonya, namun bobol juga karena si maling kerjasama dengan karyawan si toko dan membantunya dari dalam. Dan si karyawan yang menjaga toko ini juga dalam kondisi butuh uang karena banyak hutang pasca operasi orang tuanya.
Lagi, saat sesuatu itu terjadi, alasannya bisa apa saja, dan bisa jadi itu merupakan sesuatu yang berada diluar kendali orang yang “menjadi korban” atau mengalami langsung sebuah kejadian.
Victim-blame menurut saya juga minim manfaat. Toh biasanya kejadiannya sudah terjadi. Kalaupun kita sama sekali tidak bisa membantu, baiknya diam daripada melakukan Victim-blame.
Learned Helplessness
Ini mungkin kondisi dimana seseorang benar-benar membutuhkan bantuan kita untuk berubah.
Learned helplessness atau ketidakberdayaan yang dipelajari adalah kondisi dimana seseorang merasa tidak berdaya yang diakibatkan mungkin oleh pengalaman traumatis, atau oleh kegagalan yang terus menerus saat melakukan sesuatu.
Contohnya seperti ini, bayangkan seorang anak yang ikut ujian matematika. Kemudian hasilnya tidak begitu bagus, saat ia mencoba lagi, hasilnya sama, selama beberapa kali. Sehingga dia merasa, apapun yang ia lakukan tidak akan bisa mengubah hasilnya.
Saat di lain waktu ia bertemu lagi dengan soal matematika, ia sudah belajar bahwa ia tidak berdaya, bahwa ia tidak bisa matematika.
Kondisinya beragam, dan penyebabnya tidak harus yang mencekam, beberapa ada yang masih di level ringan, seperti mengatakan “saya gaptek”.
Namun, solusinya mirip (walau dalam skala berbeda), biasanya orang yang tidak berdaya ini akan membutuhkan orang lain untuk membimbing/ membantunya keluar dari kondisinya ini. Seseorang yang cukup sabar, dan menunjukkan kalau kita itu sebenarnya bisa berdaya.
Tentu saja, tidak sembarang orang bisa mendampingi atau membantu seseorang keluar dari kondisi ini.
Di titik tertentu, akan butuh seseorang yang memahami bagaimana manusia berpikir, untuk benar-benar membebaskan seseorang dari Learned Helplessness.
Salah satu solusi paling berhasil menurut saya adalah: Mempertemukan orang yang sedang tidak berdaya ini, dengan mentor yang tepat.
Jika merujuk ke Fundamental Attribution Error di awal, kita harus berhati-hati apakah seseorang itu benar-benar tidak mampu, atau mungkin ia hanya membutuhkan bimbingan, atau mentor yang tepat.
Memahami Untuk Memahami, Bukan Untuk Mempengaruhi
Semua hal yang kita bahas disini, dari mulai Fundamental Attribution Error, hingga Learned Helplessness akan membantu kita untuk lebih memahami, atau meningkatkan empati kita kepada orang lain.
Memahami orang lain, tidak sama dengan mempengaruhinya. Pada dasarnya kita bisa mempengaruhi seseorang tanpa perlu terlalu memahami siapa orang itu secara mendalam (jika kita menguasai caranya).
Namun memahami seseorang atau meningkatkan empati, akan melatih kita untuk mengambil keputusan yang lebih baik. Terutama yang menyangkut hubungan kita dengan orang tersebut.
Pada satu titik, Anda mungkin akan memiliki bawahan dalam pekerjaan Anda, dan setiap keputusan yang Anda ambil, mungkin akan berpengaruh ke semua orang yang menjadi bawahan Anda tersebut. Disinilah pentingnya empati yang tinggi.
Saya percaya segala sesuatu akan jadi yang terbaik jika kita mengambil yang terbaik dari segala sesuatu.
Selamat belajar memahami.
-Fikry
Jika Anda ingin mempelajari bagaimana membangun budaya perusahaan, terutama untuk tim yang bekerja dari lokasi yang tidak sama dengan Anda, yuk ketemu dengan saya di Kelas Remote yang akan diadakan secara offline di Jogja.
Detailnya di sini :
Sampai ketemu di Jogja. insyaAllah.
- KEPO 113: Kenapa Kita Tetap Harus Membuat Rencana Walau Rencana Sebelumnya Gagal Terus Menerus - December 7, 2024
- KEPO 112: Marketing Dalam 17 Menit - October 12, 2024
- Shopee, Telegram, Jet Pribadi, dan Kemandirian Usaha - August 27, 2024
artikelnya bermanfaat bangetttt:)
saya suka penjelasan teorinya! terimakasih
makasih pak fikri udah nulis tentang cara memahami dengan istilah psikologi.. gw jadi sadar, owh gw lagi diposisi victim blame.. dan gw akhirnya bisa tahu bagaimana cara menjawab “mungkin lo belum bikah di usia 30, karena lo tidak membukan hati atau sedang traumatis” padahal menurut gw, gw gak diposisi itu. dan jawabannya memang sunnatullah. thanks pak fikri.