Bismillah…
Salah satu pertanyaan yang sering saya terima mengenai kerja remote adalah:
Bagaimana dengan jam kerja? Apakah sama seperti jam kantor, atau bebas? Atau mungkin ada cara pembagian jam kerja sendiri?
Atau
Jika seseorang bekerja remote dengan jam kantor, bagaimana kita akan mengawasinya? Dan jika seseorang bekerja remote tanpa jam kantor, per hari ia bekerja berapa jam? Dan lagi, bagaimana mengawasinya?
Saya mencoba menjawabnya melalui sebuah cerita.
Budi adalah seorang staff bagian pemasaran yang bekerja dari kantornya dari pukul 8 pagi, hingga pukul 5 sore (8 jam kerja). Sedangkan Andi bekerja remote dari rumahnya, dengan jam kerja dari pukul 8 pagi hingga 12 siang (4 jam kerja).
Budi mengawali paginya dengan pergi ke kantor, ia rata-rata menghabiskan 45 menit di perjalanan. Begitu tiba, ia langsung meeting atau briefing, atau apapun namanya. Intinya ia ngobrol dengan atasannya mengenai tugas yang belum selesai, masalah yang ia hadapi dalam pekerjaan, dan menerima tugas baru.
Ia selesai meeting jam 10:00, kemudian mulai mengerjakan pekerjaan yang dari kemarin belum selesai. Jam 11:00, seorang temannya memanggil dan menanyakan tentang akun salah satu aplikasi yang ia gunakan, entah bagaimana ceritanya, akun ini tidak bisa diakses padahal password-nya sudah benar.
11:30 drama akun salah password ini selesai, namun pukul 11:50 Adzan Dzuhur berkumandang, karena jam 12 adalah jam istirahat. Maka Budi berpikir untuk keluar sekarang, sholat, kemudian kembali lebih cepat untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Pukul 13:00 Budi kembali ke mejanya. Sedikit terlambat dari apa yang ia harapkan, tapi mau bagaimana lagi, tadi di tempat istirahat obrolannya asik sekali sehingga membuatnya melupakan bahwa ia harus kembali lebih cepat dari seharusnya.
Pukul 14:00 Budi kembali diajak meeting oleh atasannya, untuk membahas kerjasama antara perusahaannya dengan sebuah merek makanan ternama.
Pukul 15:10 Adzan Ashar berkumandang. Setelah sholat ia kembali bekerja pada pukul 15:30, baru tersadar kalau ini sudah sore sekali.
Pukul 17:00 Budi harus bergegas pulang karena sudah janji pada keluarganya dirumah untuk makan malam bareng. Sepanjang jalan, hatinya seperti tertinggal di kantor karena pekerjaan yang ia kerjakan dari pagi masih belum selesai.
“Nanti deh di rumah, pikirnya…”
Budi tiba dirumah pukul 19:30, keluarganya sudah duduk rapi di meja makan dan sudah mulai makan tanpa menunggu dirinya. Setelah selesai makan, ia menghantar anaknya tidur kemudian ikut ketiduran. Meninggalkan pekerjaannya yang belum selesai.
Esok paginya, ia berpikir:
“Ternyata 8 jam kerja itu tidak cukup, sepertinya hari ini aku harus lembur.”
Di sisi lain, Andi bangun pagi, langsung sarapan bersama keluarga. Setelah minum kopi sejenak, ia lalu bermain dengan anak-anaknya. Dan tepat pukul 7:55 pagi, ia masuk ke ruang kerjanya yang ada di rumah, meminta anak-anaknya untuk tidak masuk kedalam hingga pukul 12:00 atau hingga ia keluar dari sana.
Karena tempat kerjanya ada di rumah, ia tidak merasa kelelahan dipagi hari yang diakibatkan oleh kemacetan.
Ia membuat aturan yang jelas dan tegas dirumahnya agar tidak ada yang mengganggu, termasuk ke anak-anaknya. Ia lalu meletakkan smartphone nya dibelakang layar laptopnya, agar tersembunyi dan tidak terlihat selama ia bekerja.
Ia lalu mulai melihat tugas yang diserahkan atasannya melalui “papan pengumuman” virtual yang bisa diakses secara online, yang ada di platform kerjanya, atau boleh disebut “kantor virtual”.
Semua yang “biasanya” dibahas dalam meeting, ada didalam papan pengumuman itu, semua terjabarkan dengan jelas. Apa yang harus dikerjakan, bagaimana alur kerjanya, siapa-siapa saja pihak yang harus dihubungi, kapan harus selesai, dll.
Semua jelas, dan semua orang dalam timnya melihat “papan pengumuman” yang sama.
Jika memiliki pertanyaan, ia tinggal meninggalkan komentar di papan pengumuman itu, namun hari ini tidak, semua penjabaran pekerjaannya jelas.
Teman-teman pekerjanya juga tidak ada yang mengganggu, karena selain semua sudah paham penjabaran kerja yang tertulis di “papan pengumuman”, mereka juga tidak tinggal di satu kota.
Masing-masing divisi dari perusahaan Andi sudah menyadari pekerjaan masing-masing. Sehingga mereka mulai bekerja sesuai dengan petunjuk yang diberikan atasan mereka.
Belum pukul 12, semua pekerjaannya sudah hampir selesai. “Ternyata lebih lama dari yang ia rencanakan” pikirnya, hampir menghabiskan 4 jam. Karena hari ini pekerjaannya termasuk banyak, biasanya ia bisa menyelesaikannya dalam kisaran waktu 2-3 jam. Sebelum mulai membalas email selama kurang lebih 1 jam.
Sebelum jam 12 ternyata Adzan Dzuhur berkumandang, ia lalu ke masjid yang ada didekat rumahnya, ngobrol dengan orang-orang di seputar kompleks perumahannya sebelum ia pulang.
Ia lalu pulang dan makan siang dengan keluarganya. Setelah makan, ia membalas email dan chat yang masuk. Kemudian berdiskusi dengan timnya mengenai pekerjaan yang harus ia kerjakan besok. Setelahnya ia bermain bersama keluarga.
Di era teknologi informasi yang serba cepat saat ini, kapan terakhir kali orang bisa fokus bekerja? Maksud saya, benar-benar bekerja yang mendalam?
Kapan terakhir kali pekerja Anda, atau mungkin Anda, benar-benar bekerja selama 4 jam, ataupun lebih?
Dari 2 cerita diatas, kita melihat bahwa cerita Budi adalah cerita yang umum terjadi di kantor saat ini. Jam kerja yang “katanya” 8 jam, ternyata hanya terdiri dari beberapa menit pekerjaan yang terputus-putus, kecil-kecil, dan tersebar sepanjang hari.
Di sisi lain, Andi memiliki jam kerja, yang menurut Budi jumlahnya lebih sedikit, hanya 4 jam.
Namun, 4 jam di ruang kerja Andi, itu benar-benar ia isi dengan bekerja. Tidak ada obrolan spontan yang tidak penting, tidak ada interupsi rekan kerja, tidak ada gosip, dll. Hanya bekerja.
Jadi, manakah yang menurut perhitungan diatas yang kerjanya lebih produktif?
Dari sebuah buku yang berjudul Rework, tertulis bahwa interupsi adalah pembunuh produktivitas.
Artinya, seseorang itu menjadi produktif, bukan karena jam kerjanya panjang, namun, bagaimana di jam kerja yang ada, berapa banyak output atau hasil yang bisa ia berikan ke perusahaan.
Inilah yang saya sebut dengan Produktif Relatif. Jika kita lihat dari panjang jam kerjanya, Budi HARUS berada paling tidak selama 8 jam di kantor. Ini jelas lebih banyak jam kerja dibanding Andi yang MEMUTUSKAN hanya akan bekerja selama 4 jam hari ini.
Namun dari sisi kualitas jam kerjanya, maka Andi jauh lebih produktif jika dibandingkan dengan Budi.
Karena jika kita perhatikan baik-baik, jam kerja Budi pada dasarnya TIDAK MENCAPAI 4 jam dari 8 jam kerja yang tersedia untuknya di kantor.
Hampir selalu ada saja interupsi baik itu besar maupun kecil. Interupsi-interupsi ini kemudian memotong jam kerja budi menjadi kecil-kecil dan berserakan, ikut menghancurkan produktivitas Budi bersamanya.
Andi relatif lebih produktif dibanding Budi, walaupun jam kerjanya lebih sedikit.
Jadi apakah seorang pemilik bisnis lebih ingin mempekerjakan Budi atau Andi?
Lagi, ini pilihan. Jika seorang pemilik bisnis “ngeyel” ingin timnya bekerja 8 jam, ia bisa mempekerjakan Budi.
Namun, jika pemilik bisnis lebih mementingkan hasil dan kualitas pekerjaan yang baik, juga selesai tepat waktu, maka Andi akan jadi anggota tim yang lebih cocok dalam bisnisnya.
Jika Anda ingin mencari dan mempekerjakan orang seperti Andi, yang bisa bekerja dari mana saja namun tetap memberikan hasil yang berdampak bagi perusahaan, maka pada tanggal , 13 November 2022 ini, selama sehari penuh, kita akan mempelajarinya di:
Saya akan membagikan pengalaman membangun tim KIRIM.EMAIL, yang bekerja dari 20+ kota di Indonesia selama 6 tahun belakangan.
Bagaimana membuat lingkungan kerja super produktif tanpa interupsi.
Dan bagaimana perusahaan Anda bisa tetap menghasilkan walaupun tim Anda tidak Anda awasi berlebihan.
Daftar di sini:
Sampai ketemu di kelas, insyaAllah…
-Fikry
- KEPO 112: Marketing Dalam 17 Menit - October 12, 2024
- Shopee, Telegram, Jet Pribadi, dan Kemandirian Usaha - August 27, 2024
- KEPO 111: Konsekuensi Level 2 - August 22, 2024