Bismillah…
Perhatikan cerita berikut ini.
Abdul adalah anak 90-an yang bisnis cemilannya sedang bertumbuh. Ia saat ini sudah memiliki keluarga kecil, dan tim yang berjumlah belasan orang yang membantunya siang malam untuk mengurus bisnisnya.
Timnya loyal dan tidak hitung-hitungan dalam bekerja, Abdul pun berhasil memimpin mereka dengan baik hingga perusahaannya bertumbuh pesat seperti sekarang. Namun, seperti kebanyakan anak 90-an lain, saat tumbuh besar, nasihat mengenai finansial yang paling sering Abdul terima adalah:
Rajin-rajinlah menabung nak.
Atau
Hemat pangkal kaya.
Dari orang tua Abdul, kakek, nenek, om, tante, kakak, hampir semua mengatakan hal yang mirip-mirip.
Setelah Abdul sekolah, guru-gurunya juga mengatakan hal yang hampir sama. Dari SD sampai SMA, bahkan sampai di bangku kuliah, ia terus mendengar nasihat yang mirip-mirip.
Memang, Abdul tidak lahir dari keluarga yang kaya (harta) atau yang banyak uangnya. Ayahnya seorang pemilik warung bakso kecil-kecilan. Mereka mungkin jauh dari kata miskin, namun juga bukan keluarga yang berkelimpahan.
Karenanya dari kecil dulu, seperti ada yang mengganjal di hati Abdul:
“Jika keluarga saya rajin menabung, kenapa kami belum kaya?”
Padahal dari dulu warung bakso ayahnya selalu laris, keluarganya juga tidak memiliki hutang, ayah ibunya rajin menabung. Namun kenapa dari kecil, ayahnya selalu mengantar Abdul dengan Vespa tua yang sering mogok? Dan, bukan hanya itu, guru-guru Abdul di sekolah juga hidupnya pas-pasan.
Abdul mulai merasa adanya ketidakselarasan antara nasihat yang ia terima dari orang tua dan guru-gurunya dengan kenyataan yang ia lihat dan rasakan sendiri di lapangan.
Barulah saat dewasa dan mulai berbisnis. Abdul baru menyadari, ternyata ada pilihan ketiga: Gunakan uangnya untuk mendapatkan uang.
Abdul “melek” dengan konsep ini, salah satunya melalui buku populer: “Rich Dad Poor Dad nya Robert Kiyosaki.
Namun isi bukunya saat itu sulit ia mengerti, di awang-awang.
“Saya paham intinya, tapi setelah itu apa? Saya harus ngapain?”
Pikirnya.
Lalu, setelah mengarungi lautan bisnis, mulai bertemu dan belajar dengan orang-orang yang memiliki pemahaman finansial dan bisnis yang tinggi, Abdul mulai mengerti maksudnya apa.
Manakah nasihat yang benar?
Sekarang, nasihat mana yang sebaiknya didengarkan oleh Abdul, atau mungkin pebisnis lain yang juga baru mulai?
Jawaban singkatnya: Tergantung.
Apakah benar bahwa hemat itu pangkal kaya? Mungkin benar.
Apakah benar bahwa kita bisa menggunakan uang untuk mendapatkan uang? Mungkin benar juga.
Jadi, pertanyaan yang lebih tepat mungkin seperti ini:
“Mana yang lebih bermanfaat untuk bisnis kita saat ini?”.
Katakanlah bisnis Abdul menghasilkan keuntungan bersih Rp 10 juta per bulan. Dan anggaplah Abdul orang yang sangat hemat sekali. Dan hemat sekali artinya HEMWUAT…
Ia bisa menghemat hingga 100%, itu artinya setiap bulan ia menghemat Rp 10 juta dari keuntungan bersih bisnisnya yang Rp 10juta (mungkinkah?). Namun, saat Abdul sudah berhasil menghemat 100%, ia tidak bisa menghemat lebih dari Rp 10 juta, tidak akan bisa bertambah lagi karena ia sudah menghemat 100%.
Jadi, jika Abdul mengikuti nasihat “hemat pangkal kaya” maka Abdul akan mendapatkan Rp 10 juta bulan ini, catatan: Dengan penghematan 100%!.
Itulah satu kekurangan utama jika Abdul fokus berhemat: Ada batasnya. Kita tidak akan bisa lagi berhemat lebih dari 100%.
Hemat 100% saja mungkin menurut banyak orang sudah tidak masuk akal, jadi sebulan itu Abdul tidak mengambil sebagian uangnya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang harus ia beli? Padalah, di sisi lain, jika Abdul fokus ke membesarkan bisnis daripada berhemat, maka hasilnya akan berbeda.
Berapa besar Abdul bisa meningkatkan pendapatan bisnisnya?
Jika saat ini omsetnya Rp 100 juta, maka ia bisa meningkatkannya menjadi Rp 200 juta, Rp 400 juta atau bahkan Rp 1 Milyar. Tidak ada batasnya. Selama Abdul tahu bagaimana caranya, tidak ada batas berapa angka yang bisa ia hasilkan.
Karenanya, dalam konteks Abdul diatas, maka, menurut saya, nasihat yang lebih bermanfaat adalah menggunakan uang tersebut untuk membesarkan bisnisnya.
Pertanyaan selanjutnya, gunakan untuk apa?
Inilah jawaban yang harus dicari oleh seorang pebisnis dalam perjalanan bisnisnya.
Kemana Menggunakan Uang Hasil Usaha?
Konteks tulisan di bawah ini tentu saja adalah profit atau keuntungan, dan bukan revenue atau omset. Artinya uang yang tersisa setelah dipotong biaya bisnis, modal bahan baku (atau dalam konteks KIRIM.EMAIL: Server), dll.
Kemana kami menggunakannya?
Ada 3 tempat dimana kami di KIRIM.EMAIL biasanya menghabiskan uang:
1. Untuk investasi ke bisnis.
Ini uang yang saya keluarkan biasanya untuk membeli hal-hal yang bisa membantu membesarkan bisnis. Misalnya: aplikasi (seperti KIRIM.EMAIL), iklan, kerjasama, sponsor, hardware (seperti laptop), kendaraan, jasa dari pihak ketiga (seperti endorsement), domain, listing iklan, launching produk baru, mesin (jika usaha Anda manufaktur/ pabrik/ produksi sendiri), split-testing iklan, penetrasi ke pasar yang baru, produksi video professional, dll, dsb.
Dan yang paling rutin saya lakukan adalah membuka jaringan baru.
Dulu, saat KIRIM.EMAIL masih hanya kami bertiga, saya, Mulyadi (COO), dan Gamal (CTO). Hampir setiap hari saya menggunakan uang dari hasil usaha untuk mengajak makan siang/ malam orang-orang atau guru-guru bisnis yang menurut saya punya jawaban dari permasalahan yang saya alami saat itu.
Awalnya saya takut ini jadi semacam “menyogok” atau jadi seperti merendahkan orang yang saya undang, atau lebih parah, saya dianggap “ada maunya”. Namun saya yakinkan hati saya bahwa ini saya lakukan dengan niat memang ingin belajar, inilah kenapa saya ingin memberikan tempat makan terbaik bagi orang yang saya undang.
Saya tidak ingin membawa tamu saya makan sembarangan, mungkin tidak sampai yang mewah berlebihan, namun juga tidak di pinggir jalan, tempat yang sempit-sempitan, atau banyak debunya dan tidak nyaman. Inilah alasan saya terkadang menggunakan uang dari perusahaan, beberapa tempat seperti ini harganya mungkin cukup premium.
Saya percaya niat yang baik, walaupun dalam eksekusinya banyak kekurangan dan berpotensi untuk salah, tetap akan membimbing kita kembali ke tujuan kita semula. Akhirnya, kumpulan nasihat yang saya terima dari beberapa kali makan siang/ makan malam tersebut, benar-benar menjadi solusi masalah-masalah di awal berdirinya perusahaan.
2. Untuk investasi ke manusia.
Inilah investasi yang mungkin tidak langsung terasa atau langsung kelihatan hasilnya. Disinilah seorang pebisnis harus percaya dengan keputusannya sendiri, dan pasrah pada Allah.
Investasi ke manusia ini termasuk ongkos seorang pebisnis untuk belajar. Atau kalau bahasa kerennya: investasi ke diri sendiri. Dan tentu saja, investasi ke manusia ini juga termasuk “manusia-manusia” yang ada di dalam perusahaan Anda, atau tim Anda.
Yang termasuk investasi ke manusia adalah: merekrut orang baru ke dalam bisnis kita, melatih seseorang sesuai bidang kerjanya, ikut ke workshop/ pelatihan/ seminar (baik diri sendiri maupun tim bisnis), membeli kursus online, menghadiri acara seperti kopdar/ gathering, biaya transportasi untuk belajar, menghadiri pameran, mengisi seminar/ pelatihan gratis, dll.
3. Investasi ghoib.
Inilah investasi yang sebaiknya tidak berharap kembali. Diantaranya adalah sedekah. Saya lebih suka tidak membahas ini karena ini terlalu pribadi untuk saya.
Jadi kita lanjut ya…
Seperti air (atau darah)
Dalam konteks bisnis, saya mengibaratkan uang seperti air. Air yang diam di satu tempat untuk waktu yang lama, malah berpotensi akan rusak dan tidak bisa diminum/ dimanfaatkan untuk hal lain. Bisa jadi tidak berguna.
Namun jika ia mengalir, maka ia bisa memberikan manfaat untuk banyak orang. Bisa dipakai untuk berwudhu, membersikan kotoran, dll. Atau seperti darah, bayangkan darah berkumpul di satu tempat di tubuh Anda, dan tidak bergerak, na’udzubillahimindzalik.
Orang yang sehat, biasanya tidak ada yang menghambat darahnya untuk mengalir ke seluruh tubuh.
Begitu juga dengan uang, terlalu lama uang Anda terdiam di satu tempat, maka ia akan menjadi korban inflasi. Terlalu dihemat, malah akan menghambat pertumbuhan bisnis.
Namun, terlalu boros, atau digunakan untuk hal yang tidak tepat juga berbahaya. Bayangkan seseorang yang sedang mengalami pendarahan parah, maka pendarahan itu harus dihentikan sebelum ia kehabisan banyak darah.
Tugas kita adalah menemukan titik yang tepat. Tidak ada formula yang pasti 100%, karena setiap bisnis bisa sangat berbeda.
Seorang pebisnis harus rajin mengujicoba dan melatih kepekaannya untuk mendeteksi apakah ia menggunakan uang secara tepat dan bijak. Dalam bisnis uang itu adalah darah, ia sebaiknya mengalir dan menghantarkan oksigen ke sendi-sendi bisnis kita, disitulah ia akan bisa memberdayakan. Gunakan dengan tepat, cashflow is king.
-Fikry
- KEPO 112: Marketing Dalam 17 Menit - October 12, 2024
- Shopee, Telegram, Jet Pribadi, dan Kemandirian Usaha - August 27, 2024
- KEPO 111: Konsekuensi Level 2 - August 22, 2024