Pada Januari lalu, perusahaan dirgantara SpaceX meluncurkan satu set satelit Starlink terbarunya menggunakan Falcon 9. Tujuan peluncurannya adalah untuk terus mengembangkan konstelasi broadband besutan Elon Musk ini.
Roket yang membawa muatan sebanyak 60 satelit Starlink ini berhasil lepas landas dari Komples Peluncuran 39A di Kennedy Space Center, Florida pada pukul 8:02 pagi waktu setempat.
65 menit setelah lepas landas, Tahap atas Falcon 9 sukses menyebarkan 60 satelit Starlink tadi ke orbit. Sementara, tahap pertamanya berhasil mendarat di kapal drone di Samudera Atlantik kendati angin permukaan saat itu cukup kencang.
Daftar Isi
Lebih dari 1.000 Starlink
Melalui peluncuran terbarunya ini, kini SpaceX sudah mengirim total 1.015 satelit Starlink ke orbit sejak mereka meluncurkan dua prototipe satelit Tintin pada Februari 2018. Menurut pengamat pesawat luar angkasa Jonathan McDowell, sebanyak 951 di antaranya masih mengitari orbit.
Mencetak Rekor
Peluncuran ini adalah kali pertamanya SpaceX menerbangkan roket pendorong atau booster sebanyak delapan kali. Booster ini pertama kali digunakan pada Maret 2019 saat peluncuran uji penerbangan Crew Dragon Demo-1.
Sebelum satelit Starlink, Booster ini digunakan untuk peluncuran satelit SXM-7 pada 13 Desember 2020 lalu. Rentang 38 hari ini tercatat sebagai rekor terpendek penerbangan booster yang sama.
Dikhawatirkan Astronom
Sejak tahun lalu, SpaceX memang gencar mengirim satelit Starlink dengan total 17 peluncuran. Proses pengembangan konstelasi yang terus bertumbuh ini mengkhawatirkan para Astronom. Mereka khawatir kalau Starlink dan proyek megakonstelasi lainnya mengganggu observasi astronomi mereka.
Kekhawatiran itu segera ditepis Patricia Cooper, wakil presiden yang mengurusi regulasi, kebijakan, dan lisensi SpaceX.
Dalam pertemuan Masyarakat Astronomi Amerika (AAS) ke-237 pada 14 Januari lalu mengutarakan bahwa pihak perusahaan telah mengambil langkah utama untuk mengurangi dampak Starlink pada dunia astronomi sejak tahun lalu.
Lebih dari 400 satelit Starlink yang diluncurkan setelah Agustus 2020 diklaim sudah dilengkapi visor, semacam lapisan untuk mencegah pantulan cahaya sinar matahari pada antena dan permukaan satelit lainnya.
Starlink Itu untuk Apa?
SpaceX mengantongi izin dari pemerintah untuk meluncurkan hingga 12.000 satelit. Perusahaan yang didirikan Elon Musk ini berencana mengirim sebanyak 42 set Starlink lagi dalam kurun satu tahun, dimana tiap set berisi 60 satelit.
Tujuannya apalagi kalau bukan membangun layanan internet satelit dengan kecepatan unduhan hingga 210 megabit per detik dan kecepatan unggahan 15-20 megabit per detik. Elon Musk kini tengah berkompetisi dengan layanan serupa dari Amazon dan OneWeb.
Elon Musk Optimistis
Starlink mampu memancarkan langsung internet ke bumi dengan harga yang kemungkinan lebih terjangkau ketimbang penyedia layanan telekomunikasi lainnya.
Elon Musk sendiri yakin bahwa Starlink bisa menjaring 3 sampai 4 persen pasar internet global senilai 1 triliun Dolar AS dengan cara mengincar pelanggan yang paling sulit dijangkau akses internet.
Starlink digadang-gadang akan mendisrupsi industri telekomunikasi.
Baca juga : Beli Produk Anda Sendiri, Elon Musk Mencontohkan Hal Ini
Harga Internet Starlink
Menurut informasi dari publik yang sudah mencoba Starlink versi beta, mereka membayar sebesar 99 Dolar AS per bulan termasuk biaya sekali bayar untuk pengadaan ruter dan terminal sebesar 499 Dolar AS. Ke depannya, harga ini berpotensi turun menjadi kurang dari 80 Dolar AS per bulan dan biaya antena sebesar 100-300 Dolar AS.
Mari bandingkan dengan penyedia layanan internet di Indonesia yang segementasi pasarnya bisa menjangkau daerah pedesaan, yakni Indihome. Dengan kecepatan hingga 100 megabit per detik, biaya yang dikenakan adalah Rp. 935.000 per bulan.
Bila nanti biaya berlangganan di Starlink betul-betul sebesar 80 Dolar AS (sekitar Rp. 1,1 juta) maka dengan kecepatan yang ditawarkan tentu Starlink berpotensi menguasai layanan internet. Meski harga sedikit lebih tinggi, agaknya pengguna akan lebih memilih kecepatan.
Salah satu syarat untuk menjadi pesaing adalah rentang harga yang lebih terjangkau. Apalagi keunggulan utaman Starlink adalah internet berbasis satelit.
Jadi, setelah membaca artikel ini, apakah Anda tertarik menggunakan layanan Starlink nantinya, atau masih akan setia dengan yang Anda gunakan sekarang? Kita tunggu kelanjutannya nanti.
dari dulu sering wondering ngapain orang ribet2 bikin roket untuk perjalanan ke bulan atau mars? sampai akhirnya sempet singgah di podcast HBR tentang space economy https://hbr.org/podcast/2019/05/understanding-the-space-economy , sampai saat ini space economy yang ada “duitnya” mungkin emang yang berkaitan dengan satelit.
Industri lain yang potensial bisa memanfaatkan space economy sepertinya adalah industri pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Dengan protes tak berkesudahan dari kelompok anti-nuklir berkaitan dengan limbah radioaktif terutama spent nuclear fuel (sisa bahan bakar), mungkin kelompok pro-nuklir perlu melakukan R&D dan melihat luar angkasa sebagai tempat penyimpanan akhir (read: pembuangan) limbah radioaktif.