Bismillah…
Episode kali ini terasa sangat dekat, bukan hanya dengan saya pribadi, tapi juga dengan orang-orang di sekitar saya, guru-guru, sahabat, bahkan keluarga. Hal itu adalah perfeksionisme. Satu sifat yang sering kita anggap baik, tapi dalam kenyataannya bisa menjadi pedang bermata dua.
Seperti biasa artikel ini didukung oleh Kirim.Email, layanan email infrastructure untuk bisnis di internet. Gunakan kode kupon KEPO untuk diskon 10% semua layanan di Kirim.Email.
Anda juga bisa dengarkan melalui spotify atau aplikasi favorit Anda disini:
Daftar Isi
Dengarkan KIRIM.EMAIL Podcast di aplikasi favorit Anda sekarang
Apa Itu Perfeksionisme?
Secara sederhana, perfeksionisme adalah kecenderungan untuk menetapkan standar yang tinggi. Ada tiga orientasi yang biasanya muncul:
- Perfeksionisme terhadap diri sendiri.
- Perfeksionisme terhadap orang lain.
- Perfeksionisme sosial, standar yang datang dari lingkungan atau masyarakat.
Di sekolah anak saya misalnya, ada ustadz yang sangat detail dalam mendengarkan hafalan: intonasi, kecepatan, semuanya harus tepat. Di level tertentu itu memang baik, tapi di era media sosial, perfeksionisme justru makin dianggap sebagai sesuatu yang wajib. Padahal, apakah perfeksionisme itu selalu bermanfaat? Belum tentu.
Antara Ibadah, Bisnis, dan Kehidupan Sehari-hari
Dalam ibadah, misalnya shalat. Kita tahu mustahil shalat 100% sempurna. Tetapi mengejar kualitas terbaik tetaplah penting, meski hanya bisa sampai 50%. Begitu juga dengan pelaksanaan Idul Adha, ratusan hewan kurban harus dipotong cepat, bersih, dan minim rasa sakit. Perfeksionisme di sini memang ada gunanya.
Namun, di sisi lain, perfeksionisme juga bisa menghancurkan. Banyak studi menunjukkan bahwa mengejar kesempurnaan justru berhubungan dengan meningkatnya kecemasan, depresi, dan tekanan mental.
Saya melihat langsung: istri saya yang perfeksionis dalam memasak sampai pernah jatuh sakit karena kelelahan. Seorang desainer yang saking perfeksionisnya, malah telat mengirim hasil kerja ke klien. Atau guru saya dulu yang begitu detail menghitung dashboard bisnis, sampai menekan dirinya sendiri.
Tekanan ke Orang Lain
Perfeksionisme tidak hanya membebani diri, tapi juga orang lain. Steve Jobs terkenal menuntut segalanya sempurna. Namun kenyataannya, produk Apple tetap tidak bebas dari cacat. Contoh kecil: di iPhone, pilihan keyboard pihak ketiga sering otomatis kembali ke bawaan Apple. Bagi pengguna lama seperti saya, itu menyebalkan. Jadi bahkan dengan dorongan “sempurna” yang kuat, hasilnya tetap tidak sempurna.
Sedikit Inefisiensi Itu Perlu
Di era pandemi COVID-19, perusahaan yang menerapkan sistem just in time ambruk karena supply chain terputus. Sebaliknya, perusahaan yang punya “kelebihan stok” justru bisa tetap produksi. Sedikit inefisiensi, sedikit ketidaksempurnaan, ternyata menyelamatkan.
Teman saya juga pernah mengalami hal serupa. Ia punya gudang dan karyawan yang awalnya terasa mubazir. Namun ketika muncul proyek mendadak, justru “kelebihan” itu yang membuatnya bisa langsung jalan. Sesuatu yang sebelumnya dianggap inefisien, malah menjadi modal besar.
Dari Seni, Otomotif, hingga Kopi
Seniman Tom Sachs sengaja memperlihatkan sambungan kasar, baut terbuka, dan karya yang jauh dari sempurna, justru di situ letak seninya.
Di dunia otomotif, Akira Nakai dengan RWB menghadirkan Porsche modifikasi yang kasar dan berkarakter.
Di dunia kopi, kita mengenal Mas Pepeng dari Klinik Kopi. Saat banyak barista lain sibuk dengan timbangan dan timer, beliau justru mengandalkan intuisi, ngobrol sambil menyeduh, tanpa alat ukur presisi. Hasilnya adalah pengalaman unik yang tidak bisa diduplikasi di tempat lain. Tidak sempurna, tapi justru istimewa.
Imperfeksi yang Membuat Hidup Menarik
Produk yang terlalu sempurna sering membosankan. Justru ketika ada ruang untuk mengkritik atau memperbaiki, hubungan antara pengguna dan produk menjadi lebih kuat. Saya sendiri pernah mendapat kritik dari klien tentang produk email kerja. Bukan karena produknya sempurna, tapi karena ada ruang diskusi dan perbaikan, klien itu tetap setia hingga sekarang.
Bahkan dalam kopi manual brew V60, perfeksionisme sering berlebihan: gramasi harus presisi, suhu air harus tepat, detik seduh dihitung. Namun bagi saya, kopi dari Mas Pepeng yang jauh dari presisi justru lebih menyenangkan. Karena ada cerita, ada rasa yang unik, ada pengalaman yang tidak bisa didapatkan di rumah.
Surat untuk Para Perfeksionis
Saya ingin menutup dengan sebuah pesan: Perfeksionisme memang perlu, tapi hanya sampai batas tertentu. Jangan biarkan ia menelan hidup Anda. Biarkan ada ruang untuk kesalahan, untuk ketidaksempurnaan, untuk momen manusiawi.
Karena sering kali, justru dari ketidaksempurnaan itulah hidup menjadi lebih menarik, lebih hangat, dan lebih bermakna.
Sampai jumpa di episode berikutnya.
- KEPO 120: Surat untuk Perfeksionis - October 3, 2025
- Membangun Superteam Tanpa Kantor: Tanya Jawab dari Pengalaman KIRIM.EMAIL Selama Hampir 1 Dekade - September 18, 2025
- Rahasia Waktu Emas Email Marketing di Indonesia: Kapan Sebenarnya Orang Indonesia Buka Email? - September 8, 2025