Bismillah…
Selama dua tahun terakhir, saya banyak bereksperimen menggunakan AI untuk berbagai aktivitas marketing: menulis copywriting, mendesain landing page, membuat konten media sosial, dan bahkan merancang sistem komunikasi pelanggan. Ratusan tools sudah saya coba, dari yang gratis sampai berbayar, dari yang katanya “paling pintar” sampai yang hanya ikut tren.
Dan setelah semua itu, saya menemukan satu masalah besar yang samar tapi berdampak luas: AI tidak punya kejernihan berpikir (clarity).
Seperti biasa artikel ini didukung oleh Kirim.Email, layanan email infrastructure untuk bisnis di internet. Gunakan kode kupon KEPO untuk diskon 10% semua layanan di Kirim.Email.
Anda juga bisa dengarkan melalui spotify atau aplikasi favorit Anda disini:
Daftar Isi
Dengarkan KIRIM.EMAIL Podcast di aplikasi favorit Anda sekarang
Masalah Besar yang Samar
AI terlihat hebat di permukaan. Output-nya cepat, rapi, penuh data, dan “pintar.” Tapi setelah berkali-kali menggunakannya untuk konteks marketing, saya sadar: hasilnya sering kali kabur. Pesannya tidak jelas, strukturnya membingungkan, dan arahnya tidak sampai ke pembaca.
Ini yang membuat saya teringat satu prinsip sederhana yang sudah sering saya ulang: kejernihan berpikir adalah tanda dari kejernihan menulis. Kalau seseorang tidak bisa menulis dengan jernih, besar kemungkinan ia belum berpikir dengan jernih juga.
Ketika Perusahaan AI Tidak Menjual Kejernihan
Pada 2025, Andersen Consulting telah memperluas layanannya ke konsultasi AI, mencakup transformasi digital, integrasi AI, manajemen data, dan strategi bisnis berbasis AI untuk klien di sektor keuangan, pemerintahan, telekomunikasi, dan lainnya. Melalui kemitraan strategis seperti dengan Digital Works Group, mereka fokus pada solusi AI yang praktis dan berorientasi hasil.
Secara keseluruhan, Andersen Group mencatat pendapatan sebesar $731,6 juta pada 2024, dengan pertumbuhan 12,4% pada paruh pertama 2025, di mana layanan konsultasi (termasuk AI) menjadi pendorong utama, jauh melebihi sekadar proyek “jutaan dolar” untuk enterprise. Firma ini bahkan tengah mengajukan IPO senilai $100 juta sebagai langkah ekspansi global ke 66 negara, dengan target pendapatan konsultasi mencapai $1 miliar.
Namun, menariknya, di balik angka sebesar itu, masih ada masalah klasik yang sama: kejernihan. Banyak bahasa yang digunakan di sektor ini justru terlalu abstrak, jargon seperti transformasi digital atau strategi berbasis AI terdengar mengesankan, tapi tidak menjelaskan apa pun secara konkret. Sama seperti banyak konten marketing berbasis AI, terlihat canggih, tapi tidak punya arah yang jelas.
AI dan Ilusi Produktivitas
Saya pernah menggunakan AI untuk menyusun marketing guidebook KIRIM.EMAIL. Hasilnya mencapai 165 halaman. Sekilas mengesankan, tapi setelah saya baca, 90% isinya saya hapus. AI menulis dengan rajin, tapi tidak tahu kapan harus berhenti. Ia mengulang, memutar, memperbanyak kata, tapi mengaburkan pesan.
Inilah kenapa banyak perusahaan justru bilang, “AI malah nambah kerjaan.” Bukan karena AI tidak bisa menulis, tapi karena hasilnya butuh banyak diedit agar benar-benar jernih.
Clarity bukan tentang menulis panjang atau pendek, tapi tentang menyampaikan maksud dengan tepat dan bisa dimengerti.
Hilangnya Karakter di Era AI
Sebuah studi menarik dari channel YouTube Syntax menemukan bahwa sebagian besar website buatan AI kini berwarna ungu. Dari latar, font, hingga gradien, semuanya seragam. Kenapa? Karena AI belajar dari tren desain masa lalu dan tidak memahami konteks karakter brand.
Fenomena ini saya sebut “krisis karakter.” AI bisa meniru gaya, tapi tidak bisa merasakan jiwa. Ia tidak tahu bagaimana meniru “nakal”-nya sebuah brand, gaya komunikasinya, atau nilai-nilai yang membuatnya berbeda. Hasilnya, semua terlihat generik dan kehilangan rasa manusia.
Hal yang sama terjadi di dunia kerja. Saya bahkan pernah bilang bahwa dunia fresh graduate mulai tergantikan oleh AI. Karena fungsinya serupa, menulis, menyortir data, mengerjakan hal teknis, tapi tanpa pemahaman konteks dan intuisi yang dibutuhkan manusia.
Data Tidak Sama dengan Kejernihan
Studi Crazy Egg terbaru tentang usability homepage AI memberikan gambaran menarik. Mereka menguji enam tools seperti Lovable, V0.dev, Jasper, dan Copy.ai. Hasilnya: 97% peserta melihat potensi AI dalam menghemat waktu, tapi hanya 45% yang mau mencoba tool berdasarkan homepage-nya. Sisanya mengaku frustrasi karena penjelasan fungsi terlalu ambigu dan minim contoh nyata seperti screenshot dashboard.
Dari sisi motivasi, pembeli utama seperti founder, product manager, dan engineer mencari AI untuk memangkas biaya development (56%), membantu marketing (SEO/copywriting, 36%), personalisasi (33%), dan efisiensi waktu (25%). Tapi 67% merasa kecewa karena homepage yang mereka lihat tidak menunjukkan use case nyata, membuat mereka ragu untuk membeli.
Secara umum, 97% responden menilai penjelasan fungsi di homepage AI tidak jelas, 57% curiga terhadap klaim yang terlalu hype seperti “3x increase” tanpa bukti, dan hampir semua menganggap jargon teknis terlalu berlebihan.
Banyak juga yang menyoroti kurangnya transparansi integrasi API dan keseragaman antar-tool yang membuat pengalaman terasa membingungkan. Akibatnya, AI aversion meningkat, pengguna lebih memilih mencoba free trial untuk membandingkan output-nya dengan ChatGPT.
Para pakar menyimpulkan bahwa AI saat ini tengah berada di fase hype cycle, ekspektasi tinggi tapi realita belum memenuhi janji. Saran mereka jelas, riset terus pain points pembeli lewat survei dan wawancara, lalu fokus pada fitur yang benar-benar dibutuhkan pasar. Karena pada akhirnya, AI marketing yang efektif bukan yang paling ramai bicara, tapi yang paling jernih menjelaskan nilai yang ditawarkannya.
AI memang bisa memangkas waktu produksi hingga 56% dan mempercepat copywriting 36%, tapi tanpa kejernihan, semua itu tidak menghasilkan penjualan. Karena pada akhirnya, marketing bukan soal cepat, tapi soal jelas.
Editing Adalah Bentuk Berpikir
Dalam proses membuat dokumen marketing, saya menghabiskan 90% waktu bukan untuk menulis, tapi untuk menghapus. Menghapus paragraf, menghapus bab, bahkan menghapus ide yang tidak penting. Karena di situlah proses berpikir yang sebenarnya terjadi.
Kita sering lupa bahwa clarity bukan muncul dari ide yang banyak, tapi dari keberanian untuk membuang yang tidak perlu. AI tidak punya keberanian itu. Ia hanya menambahkan, tidak pernah mengurangi.
Menulis Sebagai Latihan Kejernihan
Saya menemukan bahwa salah satu cara terbaik untuk menjaga kejernihan berpikir adalah dengan menulis. Saat menulis, kita dipaksa mengurai ide yang berantakan, memutuskan mana yang penting, dan menyusunnya kembali dengan teratur. Inilah proses yang tidak bisa digantikan oleh AI.
Podcast ini, bagi saya, juga bentuk dari brain dumping, membuang ide yang menumpuk di kepala agar ada ruang untuk ide baru. Karena pikiran yang jernih tidak bisa hidup di tengah tumpukan data dan prompt yang tidak pernah berhenti.
Kesimpulannya, Kejernihan adalah Tanggung Jawab Manusia
AI bisa menulis, bisa berbicara, bisa menggambar, bahkan bisa meniru gaya. Tapi hanya manusia yang bisa memahami makna.
Jadi sebelum menyalahkan AI karena hasilnya tidak sesuai harapan, mungkin kita perlu bertanya: apakah kita sendiri sudah berpikir dengan jernih?
Karena pada akhirnya, kejernihan bukan soal teknologi, tapi soal manusia yang menggunakannya.
Dan jika Anda ingin melatih kejernihan berpikir sekaligus mengasah kemampuan marketing dengan cara yang sistematis, saya sangat menyarankan Anda untuk mempelajari Operator Mesin Marketing.
Program ini dirancang agar Anda bisa membangun sistem marketing yang berjalan stabil tanpa kehilangan arah berpikir yang jernih.
Semoga artikel ini bermanfaat, dan sampai jumpa di pembahasan berikutnya.
- KEPO 121: Masalah Besar dalam Menggunakan AI untuk Marketing - October 13, 2025
- KEPO 120: Surat untuk Perfeksionis - October 3, 2025
- Membangun Superteam Tanpa Kantor: Tanya Jawab dari Pengalaman KIRIM.EMAIL Selama Hampir 1 Dekade - September 18, 2025