KEPO 119: Satu Pelajaran Penting dari Seorang Psikeater Legendaris tentang Cara Menyelesaikan Masalah

Bismillah…

Pada Januari 2026 ini, KIRIM.EMAIL insyaAllah akan genap berusia 10 tahun. Selama satu dekade berdiri, hampir setiap hari saya berbicara soal email marketing. Dan ada satu hal yang terus-menerus muncul selama 10 tahun ini: anggapan bahwa orang Indonesia tidak buka email.

Padahal, pernyataan itu hanyalah hasil diagnosa pribadi. Seseorang melihat dirinya jarang buka email, lalu melabeli semua orang Indonesia tidak buka email. Padahal jelas kalau orang Indonesia tidak buka email, mereka tidak bisa pakai Android, iPhone, media sosial, Canva, OTP, atau berbagai layanan online lain yang semuanya membutuhkan email. Nyatanya, email selalu dipakai.

Awalnya, saya sering membantah pernyataan seperti ini. Membawa data, bukti, dan logika. Tapi setelah 10 tahun, saya berhenti menjawab. Karena saya sadar, kalau label sudah menempel, sangat sulit untuk diubah kecuali orang itu mengalami pembuktian langsung dalam bisnisnya.

Seperti biasa artikel ini didukung oleh Kirim.Email, layanan email infrastructure untuk bisnis di internet. Gunakan kode kupon KEPO untuk diskon 10% semua layanan di Kirim.Email.

Anda juga bisa dengarkan melalui spotify atau aplikasi favorit Anda disini:

Dengarkan KIRIM.EMAIL Podcast di aplikasi favorit Anda sekarang

Email Marketing Itu Teamwork

Email marketing bukan soal satu pihak saja. Ada tiga elemen yang selalu bekerja sama: pemilik database (pengusaha), pembaca email (pelanggan), dan layanan email marketing seperti KIRIM.EMAIL. Keberhasilan email marketing lahir dari kerja sama ini. Kita memang tidak bisa mengendalikan pembaca sepenuhnya, tapi setidaknya pengirim dan layanan bisa berkolaborasi untuk memberikan hasil terbaik.

Itulah kenapa menyalahkan channel, entah itu email, WhatsApp, atau iklan, seringkali tidak tepat. Masalah sebenarnya lebih sering ada di fondasi komunikasi yang keliru.

Diagnosa Itu Mencari Masalah

Diagnosa adalah seni mencari kesalahan. Dalam dunia medis, diagnosa penting, semakin cepat terdiagnosa semakin cepat ditangani. Tapi di bisnis, diagnosa tanpa ilmu justru bisa menyesatkan. Karena bisnis itu gabungan banyak sekali disiplin ilmu: statistik, psikologi, ekonomi, sosial, SDM, bahkan business intelligence. Untuk benar-benar mendiagnosa bisnis, dibutuhkan tim pakar lintas bidang, dan itu pun lama serta melelahkan.

Yang sering terjadi adalah diagnosa prematur. Omset turun pasti iklan salah. Penjualan sepi pasti branding lemah. Tim tidak bergerak pasti salah rekrut. Sama seperti orang-orang di media sosial yang dengan mudah melabel kondisi sebagai indis ekonomi. Padahal di saat orang berteriak ekonomi lesu, banyak bisnis justru tumbuh.

Label hanya menghasilkan tembok. Ia berhenti di masalah, tanpa membuka jalan keluar.

Proses Itu Mencari Jalan

Daripada sibuk mendiagnosa, lebih baik fokus ke proses. Caranya sederhana: ubah pertanyaan. Bukan lagi apa yang salah, tapi bagaimana caranya.

  • Bagaimana cara kita berkomunikasi dengan pelanggan sejauh ini?
  • Bagaimana konsumen bisa repeat order?
  • Apa yang dulu berhasil tapi sekarang tidak lagi kita lakukan?

Pertanyaan seperti ini membongkar proses nyata. Misalnya, tanyakan langsung pada pelanggan: Ibu sudah belanja di sini tiga kali, bagaimana awalnya bisa tahu tentang kami? Apa yang membuat Ibu kembali? Jawaban sederhana seperti ini membuka insight faktual.

Seringkali, yang terbongkar adalah komunikasi ke pelanggan yang amburadul. Masalahnya bukan email, bukan WhatsApp, bukan Facebook Ads. Masalahnya ada di strategi komunikasi yang sejak awal sudah salah fondasi.

Dari Tembok Jadi Tangga

Diagnosa menghasilkan tembok. Proses menghasilkan tangga.
Saat kita berhenti di diagnosa, kita hanya menemukan alasan: ekonomi lagi turun, daya beli melemah, customer kabur. Itu tembok. Tapi kalau kita membongkar proses, kita menemukan anak tangga untuk naik.

Contohnya jelas. Sejak pandemi 2020, para pakar ekonomi bilang daya beli Indonesia menurun. Tapi kenyataannya, hingga 2026, setiap bulan selalu ada coffee shop baru di Jogja dan Bandung. Kalau benar daya beli turun, bagaimana mereka bisa bertahan, bahkan tumbuh? Jawabannya: proses. Ada yang meringkas produk, memangkas supply chain, memperkecil tim agar lebih lincah, bahkan menggunakan AI. Mereka tidak berhenti di tembok, tapi mencari tangga.

Bahkan bisnis yang gagal pun bisa jadi tangga. Kalau kita bedah prosesnya, selalu ada insight: ternyata supply chain bermasalah, fitur produk tidak sesuai janji, atau ada layanan yang rusak. Kadang cukup perbaikan kecil, dan pelanggan kembali. Itulah kekuatan membedah proses.

Insight dari Praktisi

Milton Erickson, seorang psikoterapis, selalu menekankan untuk fokus pada proses, bukan diagnosa. Begitu juga Noah Kagan yang selalu bertanya: apa yang dulu kita lakukan dan berhasil, tapi sekarang tidak lagi kita lakukan? Pertanyaan ini sangat kuat, karena seringkali bisnis berhenti melakukan hal yang jelas-jelas berhasil hanya karena tergoda hal baru, atau karena orang yang mengelolanya pergi.

Saya sendiri pernah mengalaminya. Kami di KIRIM.EMAIL pernah berhenti melakukan strategi yang dulu terbukti berhasil, hanya karena silau dengan kanal baru. Banyak bisnis pun begitu, strategi berhenti bukan karena gagal, tapi karena orang yang mengelolanya tidak ada lagi.

Analogi dari Dunia Psikologi

Di dunia kesehatan mental, label juga bisa jadi tembok. Anak muda mudah sekali dilabel ADD atau PTSD. Tapi label itu hanya berhenti di nama. Pertanyaan yang lebih berguna adalah: apa proses yang membuat dia kesulitan fokus? Bagaimana dia bertahan di dunia yang menuntut fokus tinggi? Jawaban proses inilah yang membawa jalan keluar.

Begitu pula bisnis. Label gagal atau salah channel tidak membantu. Membongkar proses justru membuka tangga solusi.

Email Marketing: Masalahnya Bukan Channel

Kembali ke topik email marketing. Pertanyaan apakah orang Indonesia buka email sama sekali tidak relevan. Yang lebih penting adalah: bagaimana cara kita berkomunikasi dengan pelanggan yang sudah pernah beli? Bagaimana kita mensegmentasi komunikasi? Bagaimana kita merawat hubungan dengan pelanggan lama?

Seringkali, saat pertanyaan ini saya ajukan, banyak bisnis tidak bisa menjawab. Ada yang bilang hanya pasang iklan di marketplace, padahal jelas itu bercampur dengan ribuan pelanggan lain. Tanpa segmentasi, komunikasi jadi kabur.

Itulah pertanyaan yang membongkar proses. Dan seringkali, jawaban yang keluar justru menunjukkan kelemahan paling dasar dalam strategi marketing.

Penutup

Diagnosa menghasilkan label. Proses menghasilkan insight.
Daripada sibuk bertanya apa yang salah, mari kita bertanya bagaimana caranya. Dengan begitu, setiap masalah bukan lagi tembok, tapi anak tangga untuk naik level.

Kalau Anda masih punya diagnosa, silakan kirim ke saya di [email protected]. Saya akan challenge dengan pertanyaan bagaimana caranya dan kita bisa diskusi hangat.

Seluruh episode KEPO: KIRIM.EMAILPodcast bisa didengar di kepo.blog.

Terima kasih

-Fikry

Fikry Fatullah

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *