Bismillah…
Berhubung saat ini jagat internet sedang banyak cerita tentang orang yang terlihat kaya tapi tidak memiliki kekayaan, maka kali ini Saya akan bahas tentang kekayaan dan ingin menjadi kaya.
Saya punya sikap dan pemahaman sendiri tentang hal kekayaan yang mungkin bisa bermanfaat bagi Anda.
Kita mulai.
Daftar Isi
Kita bisa kaya bareng-bareng
Saya bukan orang yang menolak membahas kekayaan. Malah sebaliknya Saya cukup nyaman membahasnya. Karena pada prisnipnya, membangun kekayaan adalah sebuah permainan, dimana jika Kita paham cara bermainnya, Kita berpotensi jadi… Ya… Kaya…
Mungkin Saya memandangnya lebih seperti hobby daripada sesuatu yang harus Saya lakukan untuk mencari sumber pemasukan.
Saya suka berdiskusi tentang membangun kekayaan, Saya suka mencari tahu bagaimana caranya, Saya suka melatih skill yang bisa membangun kekayaan.
Tapi ya lagi, namanya permainan, kadang Kita menang, kadang Kita belajar.
Saya percaya, bahwa Kita semua bisa kaya bareng-bareng. Dan Saya mengatakan ini bukan karena ingin menjual seminar cepat kaya.
Tidak ada yang Saya jual di tulisan ini selain gagasan bahwa: Kita bisa kaya bersama-sama.
Saya ulangi lagi, Kita bisa kaya bareng-bareng. Dan ini mungkin sekali terjadi. Malah sudah ada formula Matematikanya di dalam Game Theory yang bernama Nash Equilibrium. Artinya, secara logis, ini sangat memungkinkan. Jika tidak, maka tidak akan dibahas dalam Matematika.
Kita bisa membangun kekayaan berapapun jumlah pemasukan Kita, apapun profesi Kita, selama HALAL, menurut Saya semua bisa dicari solusinya.
Islam tidak melarang seseorang untuk menjadi kaya, walaupun tidak juga mengharuskan Kita jadi kaya. Ditambah lagi hidup berkecukupan juga banyak kelebihannya dalam Islam.
Kita bisa kaya bersamaan, walaupun yang Kita jual itu sama. Atau Kita berkompetisi langsung. Dan ini terjadi di depan mata Saya langsung.
Saya pernah ngobrol dengan komunitas EO. Dimana sepupu Saya yang punya Event Organizer tergabung di dalamnya.
Saya melihat mereka liburan bersama, berkumpul, berbagi tentang usahanya. Dan menurut Saya mereka semua memiliki kekayaan di atas rata-rata masyarakat di Kota tempat mereka tinggal.
Dari sini Saya belajar, walaupun Kita berkompetisi, Kita bisa kaya bareng-bareng. Buktinya sudah banyak sekali Kita lihat di lapangan. Banyak paguyuban pengusaha sejenis itu isinya pengusaha kaya dari bidang yang sama.
Ada perkumpulan usaha garmen. Ada paguyuban pedagang kaki lima. Ada komunitas pengusaha travel, dll.
Itu artinya, kekayaan Kita tidak akan hilang hanya karena Kita berkompetisi dengan orang lain dalam bisnis yang sama. Lagi, rezeki sudah dijamin oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam Game Theory, menjadi kaya adalah positive sum game. Atau kondisi dimana semuanya saling menguntungkan.
Karena pada prinsipnya ya malah bagus sekali kalau di sekitar Kita banyak orang kaya, artinya meningkatkan nilai transaksi atau average order value. Karena ya sama-sama banyak duit. Kita mungkin juga bisa lebih cepat menambah kekayaan.
Kembali ke kasus komunitas EO. Dalam satu kejadian salah seorang pengusaha EO ingin menikahkan anaknya, sebut saja namana Udin. Maka ia akan menggunakan EO lain yang ia percaya. Dan jika si Udin ini kaya, maka transaksinya ke EO lain (sebut saja EO nya Dini) akan kemungkinan semakin tinggi nilainya.
Dini mendapatkan nilai transaksi yang besar dan makin kaya. Udin menggelar acara besar yang bisa mengundang relasinya, dan menjadi lebih kaya karena menjaga hubungan baik dengan relasinya. Lagi, positive sum game. Semua bisa menang. Kita bisa kaya bareng-bareng.
Disclaimer: Saya orang yang ingin menormalisasi menikah tanpa resepsi. Tapi berhubung Saya kenal dan melihat langsung paguyuban EO ini maka cerita ini Saya angkat.
Definisi Kaya?
Tentu saja Kita tidak bisa membahas menjadi kaya tanpa membahas definisinya.
Kaya adalah kata sifat. Karenanya bisa digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang lain. Seperti kaya warna, kaya pengalaman, dll. Karena secara arti: mempunyai banyak.
Kekayaan adalah kata benda. Yang berarti: harta (benda) yang menjadi milik orang.
Dalam bahasa Inggris ada dua kata berbeda: rich dan wealth. Dan keduanya memiliki arti berbeda.
Alasan Saya menjelaskan ini di awal, karena banyak yang menyalahartikan kaya dengan kekayaan. Banyak yang ingin kaya, padahal yang mereka inginkan adalah kekayaan.
Dan lebih parah lagi, banyak yang menyalahartikan kaya dengan jumlah uang yang mereka miliki.
Uang adalah alat untuk memindahkan nilai. Punya banyak uang tidak otomatis membuat orang bisa membangun kekayaan. Kekayaan didapat dengan memiliki aset yang terus menghasilkan walaupun saat Kita tidur.
Mendapatkan uang, menjadi kaya, dan membangun kekayaan itu hal berbeda. Butuh skill berbeda.
Sudah banyak kejadian orang yang dapat banyak uang, misalnya dari warisan, atau pembebasan lahan, kemudian uangnya sudah habis dalam waktu beberapa bulan. Bahkan belum waktu lama media diributkan dengan berita satu kampung yang dapat uang banyak secara mendadak, namun kini kondisinya berbalik. Ini karena membangun kekayaan itu butuh skill khusus.
Pemahaman Kita akan uang, jadi kaya, dan memiliki kekayaan, akan menentukan bagaimana Kita membuat strategi, apa yang ingin Kita lakukan, kepada siapa Kita bergaul, dll.
Jadi ini menurut Saya bukan masalah kecil, karena setiap kata itu ada maknanya. Dan akan memprogram bawah sadar Kita, dan membentuk bagaimana aktivitas Kita dalam kehidupan. Karena sebagian besar waktu orang dewasa, terutama lelaki, akan berkutat seputar uang, menjadi kaya, dan membangun kekayaan.
Islam juga sudah punya definisi sendiri kaya sendiri. Dan mungkin ini sudah sering Anda baca.
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.”
(HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)
Dalam riwayat Ibnu Hibban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul,” jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa. Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).”
(HR. Ibnu Hibban. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Definisi kapan seseorang itu disebut sebagai orang kaya pun sudah sering dibahas.
Saya petik dari Kompas :
Credit Suisse melaporkan, kekayaan bersih 93.170 dollar AS cukup untuk membuat Anda lebih kaya dari 90 persen orang di seluruh dunia. Lembaga ini mendefinisikan kekayaan bersih, atau “kekayaan,” sebagai “nilai aset keuangan ditambah aset nyata (terutama perumahan) yang dimiliki oleh rumah tangga, dikurangi utang mereka.” Dikutip dari CNBC, Kamis (8/11/2018), laporan Credit Suisse menyebutkan, lebih dari 102 juta orang di Amerika berada di 10 persen daftar ini, jauh lebih banyak daripada dari negara lain. Jika Anda baru memiliki 4.210 dollar AS, tenang, Anda masih lebih kaya dari pada separuh dari penduduk di dunia. Dan dibutuhkan kekayaan bersih 871.320 dollar AS untuk bergabung dengan kelompok 1 persen secara global.
Kompas
Itu artinya jika Anda memiliki kekayaan bersih sekitar Rp60 jutaan saja (atau Rp65 jutaan di tahun 2022 setelah menyesuaikan inflasi), Anda sudah lebih kaya dari separuh penduduk dunia.
Sudah bersyukur?
Jika Kita hitung berdasarkan definisi di atas, seseorang yang “hanya” punya 1 motor dan ngontrak tapi menyimpan uang sejumlah Rp65 jutaan, bisa jadi lebih kaya dari orang yang punya rumah, 3 mobil tapi memiliki total hutang yang melebihi total kekayaannya.
Seringnya malah kekayaan itu tidak terlihat. Karena kebanyakan ditabung atau diinvestasikan, bukan dibelanjakan.
Lagi, kaya menurut definisi yang mana? Kaya menurut siapa?
Ingat, berapapun jumlah kekayaan Anda saat ini, jika hati Anda sudah merasa cukup, maka itu saja Anda sudah dianggap kaya jika definisinya menurut Islam.
Artinya, lagi, setiap Kita bisa jadi kaya, Kita bisa kaya bareng-bareng. Saya percaya itu.
Pun begitu, Saya yakin Kita tetap bisa kaya bareng, apapun kerangka definisi yang digunakan.
Apakah kerangka definisinya mau berdasarkan World Bank, berdasarkan Pemerintah, berdasarkan Hadits, dll. Kita tetap bisa kaya bareng. Karena masalahnya bukan kerangka definisi yang digunakan, atau apakah Kita bisa dapat kekayaan bersih senilai Rp65 juta atau tidak.
Tapi ada masalah besar yang menghambat Kita untuk kaya bareng. Dan ini yang akan Kita bahas.
Dimana sumber masalahnya sebenarnya?
Sumber masalahnya bukan pada jumlah kekayaan, tapi justru diluar jumlah kekayaan.
Sumber masalahnya adalah: Perang Status. Ingin berada di “kasta” yang lebih tinggi dari orang lain.
Perang status artinya terus menerus ingin mengatakan: Aku lebih kaya dari Kamu.
Mobilku lebih bagus dari Kamu. Nmax itu buat dasteran, Harley donk jantan. Kamu “cuma” Ferrari, Aku donk jet pribadi. Kok ngontrak, beli rumah donk sebelum umur 30, dll.
Inilah yang menjadi penghambat utama kenapa sampai sekarang Kita tidak bisa kaya bareng-bareng. Bukan karena persaingan usaha. Bukan karena pasar Kita diambil oleh kompetitor.
Perang status bisa mengalihkan fokus sesorang yang tadinya membangun kekayaan, jadi ingin perang, yang tidak ada manfaatnya. Tadinya mau menabung jadi belanja, karena ingin dilihat, ingin diposting. Perang status.
Saat Kita semua sama-sama memiliki super car, maka orang yang punya super car tidak dianggap kaya lagi. Harus beli jet pribadi baru berbeda, baru dianggap lebih kaya. Perang status.
Berbeda dengan kekayaan yang bersifat positive sum game, perang status ini zero sum game. Artinya, jika yang satu statusnya di atas, maka yang lain di bawah (zero).
Tidak bisa ada 2 orang paling kaya, tidak bisa ada 2 presiden. Satu harus di atas, yang lain di bawah. Satu jantan yang lain dasteran. Satu di depan, yang lain tidak naik podium. Mirip perlombaan.
Dalam perang status, tidak ada istilah nomor satu bareng. Kalau bareng maka bukan nomor 1 namanya, harus ada yang nomor 2. Harus ada yang di bawah.
Seseorang yang kalah dalam perang status, akan merasa apa yang sudah dia capai sejauh ini belum cukup. Karena masih ada yang di atas. Ia jadi lalai dan lupa bersyukur dengan apa yang ia miliki.
Masalahnya: Selalu ada yang di atas. Sampai dunia kiamat.
Dan seringnya, siapapun yang memiliki nilai kekayaan di atas Kita, kemungkinan tidak akan mempengaruhi apa yang Kita miliki saat ini. Posisi orang terkaya di dunia berubah terus, tapi kemungkinan tidak akan mempengaruhi nilai kekayaan Kita.
Status adalah bahan marketing dari banyak perusahaan. Seringnya untuk menjustifikasi harga sebuah produk. Dan juga bahan media. Karena seru.
Munculnya smartphone baru tidak serta merta membuat smartphone yang kita gunakan jadi terbakar dan rusak. Malah mungkin sebaliknya, smartphone baru biasanya muncul dengan sistem operasi baru. Smartphone lama kita semakin optimal dengan sistem operasi terbaru. Dan mungkin masih bisa tahan 1-2 tahun lagi. Bahkan lebih. Tapi, perang status akan “mengharuskan” Kita untuk beli smartphone baru.
Adanya penghargaan untuk pengusaha di bawah 30 tahun oleh media tertentu, tidak membuat seseorang yang memulai usaha pada usia 50 tahun itu menjadi “kalah”. Memulai usaha itu hampir pasti sangat menantang berapapun usia Anda. Artinya, mulai usaha di usia berapapun itu adalah sebuah pencapaian dan prestasi tersendiri.
Sesuatu yang lebih memperparah kondisi
Walaupun Saya TIDAK membenarkan orang dengan nilai kekayaan tinggi yang terjun dalam dunia perang status, tapi masih mending orang kaya yang perang status, daripada orang yang tidak memiliki kekayaan, tapi ikut perang status.
Saat ini kondisinya diperparah dengan orang yang hanya ingin perang status. Malah sering Kita lihat nilai kekayaan-nya itu mau diskip. Mau dilangkahi, mau di-bypass. Langsung ke statusnya saja. Terlihat lebih kaya dari orang lain.
Disinilah banyak kecurangan terjadi. Karena ingin dianggap, ingin dilihat, ingin diatas yang lain. Ingin menang perang status. Jadi bagaimana kekayaan itu dibangun tidak penting lagi. Dari mana sumber kekayaannya ya terserah, yang penting menang perang status.
Jadi masalah utamanya adalah dalam diri sendiri. Tidak bisa mengendalikan nafsu untuk ingin disanjung dan dipuji. Ingin selalu terlihat diatas orang. Ingin selalu dianggap kaya.
Tidak bisa menahan diri. Dorongan harus pamernya malah semakin kuat dengan semakin bertambahnya kekayaan.
Lagi, mengalihkan fokus dari membangun kekayaan yang sebenarnya banyak sekali manfaatnya.
Jadi bagaimana?
Pertanyaan pentingnya:
Bisakah kita terhindar dari perang status ini?
Bisakah kita menahan diri untuk tidak pamer? Untuk tidak ingin menjadi terlihat lebih kaya dari siapapun walau kita mampu?
Sayangnya Saya tidak tahu. Saya tidak bisa menjawab ini. Ada perekonomian besar yang berputar disebabkan oleh perang status.
Dan perang status terjadi di orang yang nilai kekayaannya rendah dan tinggi. Di semua level tatanan ekonomi.
Apakah saat seseorang punya nilai kekayaan di atas separuh penduduk dunia itu akan berhenti perang status dan membandingkan dirinya dengan orang lain?
Apakah Anda sanggup menahan diri saat sudah hidup lebih dari kecukupan?
Lagi, Anda yang bisa menjawabnya.
Jika jawabannya: Tidak. Maka selamat ikut perang status. Tolong beritahu Saya kalau sudah “menang.”
Jika jawabannya: Bisa. Pertanyaan selanjutnya: Apa sebabnya tidak dilakukan sekarang? Jadi nanti saat Anda sudah lebih kaya, sudah terlatih untuk tidak perang status.
Menurut saya: Tidak akan ada yang menang dalam perang status.
Dan selama Kita tidak menghindar dari perang status, akan menantang sekali untuk jadi kaya bareng-bareng.
Tapi di sisi lain Saya juga sadar, kebanyakan manusia tidak berpikir secara logis dan matematis. Tapi kita mahkluk emosional. Kita ingin terlihat baik, ingin dipuji, kita punya perasaan hasad (iri dan dengki), Kita ingin membuktikan sesuatu pada dunia. Dll. Ini yang membuat perang status sulit sekali dihindari.
Lagi, Islam punya solusinya untuk keluar dari perang status.
Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat kepada Abu Dzar. Abu Dzar berkata,
“Kekasihku yakni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah tujuh perkara padaku, (di antaranya):
- Beliau memerintahkanku agar mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka.
- Beliau memerintahkanku agar melihat orang yang berada di bawahku (dalam masalah harta dan dunia), juga supaya aku tidak memperhatikan orang yang berada di atasku. …”
(HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa) al kholq, maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar mengatakan,
“Yang dimaksud dengan al khalq adalah bentuk tubuh. Juga termasuk di dalamnya adalah anak-anak, pengikut dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kenikmatan duniawi.”
(Fathul Bari, 11/32)
Inilah pentingnya memahami definisi yang tepat tentang kekayaan. Banyak orang berkata buruk dan menjauhi membangun kekayaan, padahal yang tidak disukai kebanyakan masyarakat adalah orang-orang yang perang status, bukan kekayaan itu sendiri.
Kekayaan itu sendiri adalah sesuatu yang netral. Jadi untuk apa dibenci dan dijauhi?
Kekayaan bisa Kita gunakan untuk banyak sekali hal selain perang status dan pamer. Dan ini sudah banyak sekali contoh. Masih banyak orang dengan nilai kekayaan tinggi tapi tidak perang status, tapi mungkin jumlahnya sangat kecil dibandingkan yang bersedia ikut perang.
Kekayaan di tangan yang tepat potensinya besar sekali untuk kebermanfaatan dan kebaikan.
Apa yang seseorang inginkan?
Banyak orang ahli sekali menjabarkan apa yang tidak ia inginkan, tapi saat ditanya apa yang ia inginkan malah sulit menjawabnya.
Seringnya jika ditanya, orang tidak menjawab ingin kaya. Tapi setelah digali lagi, inginnya adalah kebebasan. Salah satu “fitur” memiliki kekayaan di atas kecukupan adalah kebebasan.
Bebas dalam artian tidak ada yang mengatur harus seperti apa (tidak ada atasan), bebas mau kemana saja, kapan saja. Dan bebas mau beli apa saja tanpa melihat label harga.
Intinya bebas sebebasnya. Sampai ada istilah: Sultan mah bebas.
Dalam konteks ini, maka kekayaan itu relatif sekali. Tergantung dimana Anda tinggal, apa yang Anda kerjakan, apa skill Anda, dll. Banyak sekali variable-nya.
Ini juga berarti konyol sekali membandingkan sesuatu yang relatif. Jika kita melihat eksperimen ilmiah, sesuatu itu bisa dibandingkan jika memiliki komponen-komponen yang mirip dan terkendali.
Dan jika Anda tahu berapa angka cukup Anda, membangun kekayaan ini bisa direncanakan dengan matang. Dan disinilah saya sangat tertarik sekali untuk mendiskusikan kekayaan.
Selamat membangun kekayaan dengan baik.
-Fikry
- KEPO 113: Kenapa Kita Tetap Harus Membuat Rencana Walau Rencana Sebelumnya Gagal Terus Menerus - December 7, 2024
- KEPO 112: Marketing Dalam 17 Menit - October 12, 2024
- Shopee, Telegram, Jet Pribadi, dan Kemandirian Usaha - August 27, 2024
Got it. Jazakallah khair Mas Fikry.
Bagus banget ini mas Fikry
Inget kata mas J
Tentukan angka cukup
Masya Allah, tulisan yang bernas sekali mas Fikry.
Barakallahu fiikum.
Masya Allah. Selalu rindu dengan tulisan mas Fikry